Menjadi Seorang Kristen


Setelah beberapa kali posting menggunakan bahasa bule (baca : Bahasa Inggris), sekarang gantian posting dengan Bahasa Indonesia yang muncul ke permukaan. Yaaa.. walaupun judul blog menggunakan Bahasa Inggris, bukan berarti aku harus melupakan bahasa asalku kan?

Oke, kali ini isi postinganku agak berat. Ini menyangkut perenunganku setelah bertobat selama lebih kurang satu setengah tahun. “Hei, bukankah kamu lahir di keluarga Kristen?”, “Bukannya kamu dari kecil rajin ke gereja ya?”, “Kamu kan aktif dalam kegiatan gereja dari TK?”, mungkin itu sebagian pertanyaan yang bakal terlontar dari mulut tiap orang yang mengenalku sejak kecil. Jadi, biarkan aku sekalian memberi penjelasan lewat posting ini.

Aku memang lahir di sebuah keluarga Kristen. Kedua orangtuaku adalah orang Kristen, walaupun mereka jarang sekali datang ke gereja untuk beribadah. Dalam Bahasa Jawa, mereka bisa disebut Kristen Abangan atau Kristen KTP. Ini bahkan lebih parah daripada mereka yang sering disebut Kristen Napas, orang Kristen yang datang ke gereja hanya pada saat Natal dan Paskah.

Sedari aku kecil, bahkan sejak sebelum sekolah, aku sudah dititipkan di keluarga dari pihak ibuku. Lebih spesifiknya di keluarga kakak ibuku. Mereka adalah keluarga Kristen yang cukup taat bila kulihat. Mereka rutin ke gereja tiap Hari Minggu, rutin memberi perpuluhan, dan rutin-rutin lain selayaknya keluarga Kristen lain. Mereka pula yang mengenalkan aku kepada Kekristenan. Tapi sejauh yang aku ingat, Kekristenan mereka hanyalah rutinitas belaka. Tidak ada hubungan yang benar-benar personal dengan Tuhan. Bahkan tidak pernah ada yang namanya doa keluarga. Oke, aku tidak bermaksud mendiskreditkan salah satu gereja dalam posting ini. Jadi aku tidak akan menyebut nama gerejanya. Namun gereja yang dihadiri oleh keluargaku ini adalah gereja beraliran Protestan. Apa itu Gereja Protestan? Aku bukan orang yang tepat untuk menjawabnya. Bukan dalam kapasitasku. Jadi maaf jika aku tidak bisa menjelaskannya lebih rinci.

Lalu tibalah saat kelulusanku dari sekolah dasar. Ayahku memindahkan sekolahku dis sebuah kota kecil bernama Madiun (sebelumnya aku tinggal di Kediri, sebuah kota yang agak lebih besar dari Madiun) yang menurut pendapat ayahku, lebih dekat dengan tempat tinggal orangtuaku. Mereka tinggal dan bekerja di sebuah kota yang bahkan lebih kecil lagi yang bernama Ponorogo. Bila kalian pernah mendengar kesenian Reog, maka Ponorogo adalah tempat asal kesenian itu. Rumah mereka dekat dengan sebuah masjid sehingga saat kecil aku sering menirukan suara-suara adzan yang berkumandang. Saat aku dewasa inilah aku baru menyadari bahwa aku memang dipanggil untuk menjadi anak-Nya, bukan yang lain. Segala puji, hormat, kemuliaan hanya bagi Allah yang hidup, yang bertahta di tempat yang maha tinggi!

Di Madiun, aku disekolahkan di sebuah sekolah Katolik. Sekolah ini mempunyai asrama tersendiri sehingga ayahku memutuskan untuk memasukkan aku ke asrama sekaligus. Tapi justru tindakan ini memperburuk kualitas keimananku.

Setiap pagi, kami penghuni asrama diharuskan untuk mengikuti ibadah di sebuah gereja Katolik yang berseberangan langsung dengan asrama. Tahun pertama, aku merasa biasa saja dan mengikuti dengan senang hati semua liturginya. Toh selama aku di sekolah dasar, aku juga bersekolah di sekolah Katolik. Sehingga aku tidak terlalu merasa asing dengan tata ibadahnya.

Tahun kedua, jiwa pemberontakku mulai tumbuh. Aku mulai main kucing-kucingan saat disuruh datang ibadah. Aku juga merasakan kehampaan saat berada di gereja. Aku merasa bosan. Aku orang yang tidak menyukai rutinitas yang begitu-begitu saja dan mudah bosan dengan sesuatu. Jadi, makin banyaklah alasanku untukk mangkir dari kebaktian.

Tengah tahun ketiga di SMP dan di asrama, aku diajak oleh teman sekolahku untuk menghadiri ibadah di gerejanya. Aku ikut saja karena aku masih merasa bahwa aku harus ke gereja. Di sinilah Roh Kudus ambil bagian dalam kehidupanku, meski waktu itu aku belum menyadarinya.

Meskipun pada awalnya aku sempat merasa kurang nyaman karena gereja ini adalah gereja karismatik/Pentakostal (ingat, aku berasal dari latar belakang Protestan), lama-lama aku menikmatinya. Hal ini berlanjut hingga aku lulus SMP dan melanjutkan ke SMK. Aku berada di gereja yang sama hingga aku lulus SMK. Aku sempat ditawari untuk melakukan babtis selam, namun karena kau masih ragu-ragu, aku menolaknya. Sejauh ini, kehidupan rohaniku berjalan biasa-biasa saja.

Beranjak masuk ke universitas, aku memilih untuk melanjutkan kuliah di Surabaya, ibukota provinsi Jawa Timur. Orangtuaku sempat menawariku untuk melanjutkan studiku ke Malang. Tapi karena aku lebih familiar dengan Surabaya, aku menolaknya. Lagipula di Malang sudah ada kakakku. Aku tidak nyaman berada dekat dengannya. Mungkin karena dulu perlakuannya sering kasar padaku, tapi sekarang aku sudah memaafkannya dalam Nama Yesus.

Di Surabaya, teman yang dulunya mengajakku ke gereja karismatik di Madiun mengajakku lagi ke gereja. Tapi kali ini gereja yang lain. Gereja ini mengadakan kebaktian tiap minggu dengan berpindah-pindah lokasi. Aneh? Hmm.. Tidak juga. Konsep kebaktiannya adalah kebaktian kebangunan rohani (KKR) sehingga membutuhkan tempat yang luas sedangkan bangunan gerejanya sendiri tidak cukup untuk menampung sekian banyak jemaat. Bayangkan saja, tiap kali kebaktian, jemaat yang hadir mencapai delapan ribu orang. Betapa dahsyat kuasa Tuhan dinyatakan lewat gereja ini. Ini adalah gereja dimana aku benar-benar bisa bertumbuh dalam iman dan mengalami secara langsung kuasa Tuhan atas hidupku mampu mengubahkan hidupku. Di gereja ini pulalah aku memberanikan diri untuk dibabtis dan tertanam untuk melayani.

Selama setengah tahun ini, beberapa perubahan besar yang kualami adalah aku bisa mengenal Tuhan lebih dekat, tidak lagi mudah mengajukan komplain bila ada hal yang tidak sesuai kehendakku, lebih sabar menghadapi bermacam-macam hal, dan mulai bisa mengurangi hal-hal yang tidak baik (baca : dosa). Aku bersyukur sudah boleh mengenal siapa Tuhan sesungguhnya. Tak ada Tuhan lain selain Yesus Kristus. Tak ada Tuhan lain yang berani membuktikan betapa dalam Ia mencintai manusia sampai-sampai Ia rela datang ke dunia dan menjadikan dirinya serupa manusia untuk menyelamatkan ciptaan-Nya yang terhilang selain Yesus.

Sejauh ini, banyak hal yang harus kurelakan untuk mengikuti Yesus. Mulai dari hobi bermain game di warnet, kebiasaan berbicara kotor, masturbasi, kebiasaan berbohong, kebiasaan meledakkan amarah, dan masih banyak lagi hal-hal buruk yang sudah kutinggalkan. Memang pada awalnya sangat sulit. Apalagi hal-hal itu sudah mendarah daging dalam kehidupanku. Tapi semua itu layak untuk dijalani karena hidupku terasa jauh lebih indah untuk dinikmati setelah aku lepas dari hal-hal semacam itu. Oke, aku belum sepenuhnya lepas dari beberapa hal. Tapi aku percaya, Nama Yesus jauh lebih  dari sekedar berkuasa untuk melepaskanku dari hal-hal itu.

Apakah kalian siap bila sewaktu-waktu Dia datang untuk kedua kalinya? Tuhan Yesus memberkati..