[Indonesian] Uniknya Kuliner Ponorogo

Well, this post is intended for  visitors from Indonesia because there are terms exclusively Indonesian. But you can always use Google Translate if you want to read anyway. So, here we go!

Well, saya sekarang sudah tidak lagi berdomisili di Surabaya. Paling tidak sampai beberapa tahun ke depan. Alasannya sangat personal. Jadi maaf kalau saya tidak bisa mengungkapkannya di sini. Walaupun mungkin ada beberapa followers saya, baik di Facebook, Twitter, maupun Instagram yang tahu karena saya sempat posting.

Jadi, di mana saya sekarang tinggal? Seperti judul postingan ini, saya sekarang tinggal di Ponorogo. Kota di mana orangtua saya tinggal selama tiga puluh tahun terakhir. Ngomong-ngomong, mereka asli Kediri.

Lalu, apa yang unik dari kuliner Ponorogo? Bukan Ponorogo secara keseluruhan sih. Lebih tepatnya, kuliner Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo.

Keunikannya, masyarakat di sini senang mencampurkan potongan tomat segar ke dalam sepiring soto ayam berkuah bening, maupun rawon. Dan ternyata, mereka tidak hanya memasak daging sapi sebagai isian rawon, tetapi juga daging ayam. Menarik, ‘kan? Apa cuma itu keunikannya? Tentu saja tidak.

Orangtua saya berjualan di dalam Pasar Pulung. Jadi sedari kecil, saya sudah akrab dengan budaya tawar menawar. Di pasar tradisional ini, ada banyak penjual tahu. Kebanyakan menjual tiga jenis tahu. Tahu mentah, tahu setengah matang, dan tahu matang (tahu goreng). Semuanya tahu putih, bukan tahu kuning, apalagi tahu sutera. Loh, bukannya semua pasar tradisional ada penjual tahu semacam itu? Lalu, di mana letak keunikannya?

Tentu saja semua pasar memiliki penjual tahu. Keunikan penjual tahu di sini adalah pada tahu matang. Tahu matang yang dijual ada dua macam. Tahu matang asin, dan tawar. Saat proses penggorengan tahu, seluruh tahu, baik yang akan berakhir menjadi tahu tawar maupun menjadi tahu asin, seluruhnya digoreng bersamaan. Setelah semuanya matang, barulah tahu dipisahkan. Setelah itu, seluruh tahu yang akan berakhir menjadi tahu asin dimasukkan ke dalam ember bersih berisi air garam yang kemudian dibawa ke pasar. Sesampai di pasar, tahu dalam ember air garam ditiriskan dan diperas, sebelum akhirnya diletakkan di dalam tampah (wadah bundar besar yang terbuat dari anyaman bambu) dan siap ditawarkan ke pembeli. Unik, bukan?

Setelah kita membahas makanan, tentu saja kita juga harus membahas minuman. Agar tidak haus. 😀 Ada satu minuman endemik Kecamatan Pulung yang saya tidak pernah temui di tempat lain. Namanya Es Cao. Eits, jangan samakan Es Cao dengan Es Cincau ya. Namanya memang mirip, dan ada sebagian daerah yang melabeli Es Cincau sebagai Es Cao. Tapi secara bentuk dan bahan, amat jauh berbeda.

Es Cao terbuat dari air, gula, dan essence frambozen merk tertentu (maaf, merk tidak disebutkan karena saya tidak di-endorse oleh merk bersangkutan 😀 ) yang ditambah sedikit (serious, cuma sedikiiitt) air perasan jeruk nipis. Bahan utamanya sih hanya itu saja. Untuk isian Es, bisa ditambahkan serutan daging buah blewah (atau ada yang menyebut sebagai garbis), potongan kolang kaling, dan biji selasih, bergantung si penjual dan ketersediaan bahan. Rasanya? Jangan ditanya. Manis menyegarkan. Apalagi dalam suasana musim kemarau panjang seperti ini.

Tertarik mencoba? Silakan kunjungi Kota Ponorogo, dan rasakan keunikan kulinernya. 😀